MAKALAH
ILMU ALAMIAH DASAR
“MITOS DAN LEGENDA BAGI KAUM
INTELEKTUAL :
HARUSKAH SEGALANYA DIUKUR DENGAN
DAYA NALAR?”
Disusun
Oleh :
NAMA :
GALANG SETIANTO
NIM :
14.240.0213
KELAS :
1P45
Dosen Pengampu : Wim Hapsoro, S.H.,
M.H.
STMIK WIDYA PRATAMA PEKALONGAN
BAB
I
LATAR
BELAKANG
Dewasa ini,
perkembangan teknologi sangatlah pesat.
Setiap elemen masyarakat sudah mengenal teknologi. Namun, perkembangan
teknologi juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa
paham primitif masyarakat yang mempercayai akan adanya mitos dan juga legenda
kini mulai tergeser. Sebuah hal yang seharusnya bisa kita lestarikan sebagai
bentuk nyata dari keragaman budaya perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
Perkembangan
teknologi dan pola pikir masyarakat mengesampingkan hal yang berkaitan dengan magis. Pola pikir
masyarakat sekarang cenderung mengukur kebenaran suatu hal berdasarkan unsur
logis, yaitu sebuah standar yang digunakan untuk menimbang sesuatu yang bisa
diterima nalar ataupun tidak bisa diterima nalar. Jadi, sesuatu yang bisa
diterima dengan nalar saja yang diterima masyarakat tersebut.
Namun,
beberapa masyarakat juga menerima megenai hal-hal yang berkaitan dengan ghaib
maupun magis. Magis dan ghaib merupakan salah satu elemen yang terkadang tidak
bisa diterima melalui pikiran atau daya nalar manusia. Bentuk dari magis dan
ghaib itu sendiri bisa berupa mitos atau cerita rakyat maupun legenda.
Apakah
segala hal itu harus diukur dengan nalar? Lalu bagaimana dengan
kejadian-kejadian yang terjadi diluar nalar? Apakah daya nalar manusia itu
tidak terbatas sehingga manusia bisa menalarkan sebuah hal yang sebenarnya
diatas kemampuan manusia? Haruska kita menghilangkan mitos-mitos yang tidak
bisa diterima nalar?.
Dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis berkamsud membuat membuat sebuah makalah
yang berjudul “Mitos dan Legenda bagi Kaum Intelektual: Haruskah Segalanya
Diukur dengan Daya Nalar?”. Penulis berharap agar kita bisa mengambil hikmah
atau kesimpulan sebagai salah satu cara untuk menjaga dan melestarikan mitos
atau legenda yang beredar dalam masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
Masyarakat era sekarang
memang memiliki standar intelektual yang tinggi sehingga memandang segala hal
dengan nalar saja. Pertanyaan yang timbul adalah layakkah orang-orang
intelektual seperti era sekarang percaya dengan mitos maupun legenda yang
cenderung tidak bisa diterima akal sehat?. Untuk menjawab ini tentunya ada
permasalahan pokok, yaitu percaya atau tidak dengan suatu yang tidak bisa
diterima nalar. Untuk mengulas ini, ada sebuah pertanyaan perumpamaan, yaitu
percayakah anda jika besi bisa mengapung di atas air? Kebanyakan orang pasti
menjawab “Tidak!”. Jika kita berbicara dengan nalar pasti kita tidak bisa
menerima hal tersebut.
Mana
mungkin sebuah besi yang merupakan benda yang bisa diktakan cukup berat bisa
mengapung di atas air? Tapi penulis percaya dengan perumpamaan tersebut.
Mengapa? Dalam hal ini jawabannya adalah kapal perang/ kapal feri. Apakah kita
sebagai kaum intelektual pernah berfikir bahwa benda seberat kapal feri atau
kapal perang yang terbuat dari berbagai macam logam, bahkan baja bisa mengapung
di atas air?. Itu sebenarnya tidak bisa diterima nalar, namun karena ada bukti
yang demikian apakah kita masih akan berkata tidak? Apakah kita harus mengukur
suatu hal dengan nalar? Padahal dengan perumpamaan tersebut kita bisa menangkap
bahwa sebenarnya daya nalar manusia itu terbatas.
Namun
demikian, jika sebuah besi lempengan besar yang ditaruh di atas air pasti akan
tenggelam dan tidak bisa mengapung, kecuali dipengaruhi oleh suatu faktor .
Contoh kasusnya adalah kapal perang itu sendiri, kapal sebesar itu yang terbuat
dari besi bisa tidak tenggelam karena adanya sebuah rongga udara di tengah
badan kapal sehingga kapal bisa terapung. Sebagaimana dengan mitos ataupun
legenda yang kadang tidak bisa diterima nalar,
jika mitos atau legenda tersebut
dipengaruhi sebuah faktor bahkan disertai dengan bukti, apakah kita tidak akan
mempercayainya juga.
Pada
dasarnya semua hal yang merupakan mitos maupun legenda pasti menyimpan dan
menyibakkan nilai-nilai kehidupan yang patut kita teladani. Haruskah kita
memelihara ego kita untuk mengukur semua hal dengan nalar? Sedangkan nalar
manusia itu terbatas. Sebenarnya selama mitos atau legenda itu baik dan
menuntun kita dalam kebajikan, maka cukup kita menghormati dan mengikutinya.
Salah
satu contoh ada sebuah mitos yang berkembang pada masyarakat di Pekalongan bahwa
seorang anak kecil tidak boleh bermain hingga magrib karena bisa dibawa oleh wewe, yaitu sebuah makluk yang berbentuk
wanita dan sangat menyeramkan. Kita bisa mengkategorikan hal tersebut dengan
mitos karena merupakan cerita yang berkembang dan diyakini masyarakat mengenai
suatu hal ghaib. Namun, mitos tersebut masuk dalam kategori wewenging, atau dalam bahasa Indonesia
diartikan sebagai peringatan.
Berbicara
mengenai mitos tersebut, ada sebuah kata yang bisa membuat kita tercengang,
yaitu wewe. Percayakah kita dengan
makluk tersebut? Penulis memiliki pengelaman tersendiri untuk menjawab hal
tersebut, dulu sekitar tahun 2008 ada tetangga yang mengabarkan anaknya yang
seumuran dengan penulis hilang, kata orang tuanya dibawa wewe. Alhasil, warga sekitar pun membantu mencari dengan
membunyikan panci yang dipukul-pukul. Akhirnya, dengan keanehan yang tidak bisa
diterima nalar anak tersebut ditemukan diatas pohon beringin dengan jarak yang
lumayan jauh dari rumahnya. Ketika anak tersebut ditanyai apa yang dialami, dia
hanya menjawab tidak tahu apa-apa dan ketika bangun masih digendong oleh ibunya
ketika sudah ditemukan. Jika mendengar cerita tersebut tentunya antara percaya
dan tidak percaya, namun jika melihat bukti yang demikian apakah kita akan
mengabaikanya begitu saja?
Sementara
itu, mitos untuk tidak bermain setelah adzan magrib tersebut memiliki sisi
lain. Dari beberapa sumber mengatakan, bahwa mitos tersebut memang termasuk
peringatan, maksudnya agar anak-anak tidak bermain sampai larut malam sehingga
orang tua tidak akan cemas, karena anak tersbut akan pulang sebelum waktu
magrib sehingga orang tua tidak perlu mencarinya hingga petang yang bisa
dikatakan menjadikan penglihatan mata akan lebih terbatas. Selain itu, mitos
tersebut juga dimaksudkan agar anak bisa pulang sebelum magrib dan melaksanakan
ibadah sholat magrib. Itu dilihat dari sudut pandang intelektual. Jika melihat
tujuannya yang demikian, apakah dengan alasan tidak percaya wewe maupun mitos tersebut membuat kita
menyuruh anak untuk bermain hingga selepas magrib?
Penulis
percaya bahwa pengarang mitos tersebut yang bersifat anonim bukanlah orang
biasa, dalam artian memiliki kecerdasan atau intelektual yang tinggi. Mengapa
demikian? Karena pengarang menggunakan sebuah subjek yang ditakuti masyarakat
berupa makhluk lain, jin maupun setan untuk membuat masyarakat patuh terhadap
suatu aturan maupun tata karma (perilaku). Kita tahu, bahwa aturan yang dibuat
manusia pada dasarnya dibuat hanya untuk dilanggar, sehingga menerapkan metode mitos
tersebut mungkin dijadikan solusi disbanding dengan aturan yang tercetak dalam
kertas karena aturan tersebut tidak bisa menimbulkan perasaan takut untuk
melanggar aturan atau tarta karma tersebut.
Ketika
mitos-mitos tersebut kini mulai ditinggalkan, kita tentunya melihat
perbedaannya dimana sekarang ini banyak anak-anak maupun remaja yang kelayaban
hingga lupa waktu, yang tadinya sering beribadah kini sering jalan-jalan tanpa
arah dan bergaul dengan teman tanpa menyeleksi baik buruknya teman tersebut.
Hingga terkadang terjerumus dalam hal-hal negatif. Itu menunjukan bahwa
pengaruh mitos sangatlah penting dalam masyarakat. Jika kita melihatnya dari
sudut pandang positif pasti akan menemukan manfaat atau hikmah dari mitos itu
sendiri. Haruskah sebagai kaum yang intelektual dengan standar nalar yang
tinggi kita harus menghilangkan mitos yang sejatinya memiliki pengaruh yang
besar dalam kehidupan bermasyarakat khususnya tentang tata prilaku yang baik
sebagai manusia?
Masalah
mengenai ada tidaknya makhluk ghaib memang tidak selalu bisa diterima dengan
akal sehat. Namun, kita harus selalu berfikir positif dalam menanggapi mitos
ataupun legenda. Kita harus menghormati mitos tersebut dengan cara,
mengikutinya selama tidak bertentangan dengan norma dan agama. Jadi, selama
bentuk mitos tersebut memiliki tujuan dan manfaat yang baik, kita harus
melestarikannya, barangkali itu merupakan salah satu metode wewenging (memeringatkan) yang digunakan
oleh generasi sebelum kita.
Semua
mitos tidaklah selalu merupakan wujud rekayasa semata, ada beberapa orang yang
meyakini akan kebenaran sebuah mitos. Apalagi yang menceritakan mitos tersebut
merupakan seseorang yang disegani, dituakan, dan dihormati masyarakat seperti
pemuka agama. Tidak bisa dipungkiri, terkadang mitos tersebut memang tidak bisa
dibantah karena mempunyai bukti-bukti yang nyata. Kita ambil contoh adalah
kejadian aneh yang menimpa rekan penulis yang ditemukan diatas pohon beringin.
Jika sudah demikian percaya atau tidak itu merupakan hak individu, tetapi kita
harus tahu bahwa manusia itu terbatas dan nalar manusia pun terbatas.
Manusia itu pada hakikatnya terbatas,
sebagaimana penglihatan manusia yang juga bersifat terbatas. Sebagai misal,
manusia tidak bisa melihat benda di depannya, jika matanya ditutup kain yang
tebal. Itu hanya sebagai perumpamaan bahwa di dunia ini sebenarnya masih banyak
hal yang belum manusia ketahui karena penglihatan manusia itu terbatas. Sebagai
misal, manusia tidak bisa melihat angin namun kita bisa merasakan angin.
Seperti halnya hal mitos ghaib, kita mungin tidak bisa melihat bentuk nyata
dari mitos tersebut, tetapi terkadang kita bisa merasakan atas kebenaran hal
mitos tersebut. Namun demikian, ada
beberapa orang yang bisa melihat sesuatu yang ghaib meskipun tidak semua orang
bisa melakukannya. Namun, itu merupakan sebua anugerah Tuhan. Mengapa? Karena
jika semua manusia bisa melihat makhluk ghaib yang katanya bentuknya tidak
karuan dan mengerikan, apakah setiap manusia akan merasa nyaman dan tenang?
Selain
mitos, ada pula legenda yang merupakan suatu karya sastra yang berkaitan dengan
asal-usul terbentuknya suatu situs ataupun wilayah. Kita ambil contoh adalah
legenda tentang Candi Prambanan. Legendanya adalah sebagai berikut :
Legenda Candi Prambanan
Alkisah,
pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan
Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan
Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan
Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin
oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun
yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan
mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka
mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita.
“Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung
Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali,
maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro
Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki
ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi
permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”.
Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak,
maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta
rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang
memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang
mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,”
Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”.
“Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya
harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus
selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang,
bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir
bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya.
“Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata
penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan
altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah
aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi
gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni
Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin.
“Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera
bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat
bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia
cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”,
ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan
disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua
jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya
menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit
dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang
menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan
terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan
matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi
meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan
pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi.
“Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah
candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru
Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”.
Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka.
“Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang.
“Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya
pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung
batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa
Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan.
Itulah salah satu
bentuk legenda yang ada di Indonesia, setelah membaca karya anonim tersebut
kita akan menarik kesimpulan bahwa Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang
merupakan buatan satu orang dibantu makhluk halus (jin) yang disuruh oleh
Bandung Bondowoso selama satu hari. Namun demikian, apakah hal itu bisa
diterima nalar? Jika kita menarik cerita tersebut dalam sudut pandang logika,
kita pasti tidak akan mempercayainya. Bagaimana mungkin candi sebanyak itu bisa
diselesaikan dalam waktu satu hari yang hanya 24 jam. Tentu saja dalam konteks
masyarakat intelek dan modern sebagian tidak percaya dengan cerita-cerita
masyarakat yang demikian. Namun, apakah kaum intelek akan berbicara secara
lugas bahwa hal itu tidak benar dan memaksa masyarakat meninggalkan prresepsi
primitif yang demikian?
Kaum intelek
kebanyakan berusaha untuk mematahkan presepsi-presepsi yang dikatakan sebagai
presepsi primitif mengenai legenda maupun mitos yang berkaitan dengan ghaib,
yang tidak bisa diterima nalar. Padahal, itu sama artinya mengurangi kebudayaan
rakyat Indonesia yang sangat berharga sebagai warisan budaya bangsa. Jadi,
meskipun terlahir sebagai orang yang intelektual, kita tetap harus menjaga dan
melestarikan cerita-cerita rakyat yang berbentuk legenda maupun mitos.
Setidaknya jika cerita rakyat tersebut memberikan efek yang baik dalam
membimbing prilaku yang bajik bagi manusia sehingga cerita rakyat tersebut
menjadi penting untuk dijaga dan dihormati.
Selain itu ada pula
cerita mengenai Malin Kundang yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Ceritanya
sebagai berikut :
Pada
suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki
yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan mengarungi lautan yang luas.
Maka
tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan,
dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke
kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk
mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering
mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang
mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka
tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah
beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang
mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia
sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang
nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang
kaya raya.
Malin
kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan
maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang
akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan
perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh
ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang
berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”,
ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.
Kapal
yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan
Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang
ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak
laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh
bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal
tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya
tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin
segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin
Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa
tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar
adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja,
Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak
kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah
menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi
istrinya.
Berita
Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada
ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira
anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke
dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah
beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang
besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu
Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat
indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di
atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin
Kundang beserta istrinya.
Malin
Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat,
ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah
ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku,
mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk
Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan
pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri,
sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin
Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah
tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin
Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku
agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan
dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia
tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak,
ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia
anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang.
Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan
akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Cerita malin kundang
tersebut memang sulit diterima nalar karena cerita tersebut menyajikan manusia
yang dikutuk menjadi sebuah batu. Namun, terlepas dari hal tersebut cerita
Malin Kundang memiliki pesan moral, yaitu sebagai
seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama kepada
seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai
menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa
besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.
Melihat pemaparan tersebut kita bisa mengetahui
bahwasannya mitos maupun legenda memuat banyak kebaikan, baik berupa nilai
kehidupan maupun tata karma sebagai manusia. Sebagai masyarakat intelektual
tentu harus memilih kebaikan, jadi kenapa kita harus melihat sesuatu dari segi nalar sedangkan
penalaran manusia sangat terbatas. Selagi mitos itu memiliki dampak positif
bagi masyarakat, mengapa kita harus menghilangkan atau menggeser mitos dan
legenda tersebut yang sejatinya sangat berpengaruh bagi perkembangan
masyarakat?
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan kita bisa menarik
sebuah kesimpulan yang bisa menjawab sebuah pertanyaan ” Mitos dan legenda,
benarkah sebuah absurditas bagi kaum intelektual?” yang sejatinya mengilhami
penulis untuk membahas judul “Mitos dan Legenda bagi Kaum Intelektual :
Haruskah Segalanya Diukur dengan Daya Nalar?”. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa masyarakat intelektual selalu mengukur suatu hal dengan nalar. Padahal
nalar manusia itu sangat terbatas. Apakah masyarakat intelektual itu harus
hidup secara terbatas dan menutup matanya terhadap mitos dan legenda? sementara
mitos dan legenda memiliki fungsi dan tempat sendiri bagi kehidupan masyarakat
di suatu tempat.
Sebagai manusia yang
intelektual seharusnya kita memilih sesuatu yang benar dan sesuatu yang benar
tentunya adalah sesuatu yang membawa efek baik bagi masyarakat. Padahal mitos dan legenda pada umumnya
menyimpan suatu kebaikan dalam membimbing manusia berperilaku baik sesuai
etikanya. Dengan kata lain mitos dan legenda merupakan suatu hal yang baik bagi
masyarakat. Itu artinya sebuah mitos atau legenda merupakan suatu kebenaran dan
kebajikan. Selain itu, dengan menjaga dan menghormati mitos dan legenda, kita
juga akan melestarikan keragaman kebudayaan Indonesia. Sebagai masyarakat
intelektual tentunya harus melestarikan keragaman budaya bangsa.
Mengenai kebenaran
kejadian dalam suatu mitos dan legenda itu tergantung masing-masing individu,
tetapi kita harus tahu bahwa manusia dan daya nalarnya pada dasarnya terbatas
sehingga sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah yang diluar nalarnya. Dengan
demikian, mitos dan legenda bisa dikatakan sebagai suatu yang benar selama itu
memiliki efek yang baik bagi masyarakat serta sesuai dengan norma dan agama
yang berlaku pada masyarakat dan mengarahkan manusia menuju kebaikan.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
0 Comments