Kumpulan yang Terbuang - Kumpulan Puisi dari Kelas yang Terisolasi



YANG MALANG YANG HILANG
(Oleh: Ambarwati)

Aku yang malang, Aku yang hilang.
Tertipu angin.
Terhanyut air.

Aku yang malang, Aku yang hilang.
Tertawa diam membatin seru.

Aku yang malang, Aku yang hilang.
Tak dapat bertahan.
Di kapal yang karam.

Aku yang malang, Aku yang hilang.
Hatiku hilang, Cintaku melayang.

Aku yang malang, Aku yang hilang.
Kasihku sayang, Kasihku hilang.

Kasihku tersayang, Kasihku yang hilang.
Pulanglah, pergi.
Datanglah kembali.



DINDING KERAGUAN
(Oleh: Ambarwati)

Putih hitam abu-abu.
Terang gulita remang-remang.
Terpanggil aku satu pilihan.
Antara jalan dan jurang.

Aku bingung, aku gamang.
Dinding keraguan makin kuat menghantam.
Teringat aku satu pegangan.
Ia-lah Sang Tuan pemilik siang dan malam.

Namun aku lupa dimana gerangan Dia.
Sudah lama ku tak jumpa.
Dia menjauh?
Ah, bukan…
Aku yang lari penuh keraguan.

Biar kuingat-ingat dimana singgasana-Nya.
Biar kucari jalan bercerita dengan-Nya.
Tentang aku.
Tentang bimbang.
Biarlah hancur si dinding keraguan.



BISIKAN RASA MENGARTIKAN RASA
(Oleh: Anggit Fajar N.)

Entah siapa yang menjatuhkanku.
Hanya lubang kesakitan yang mendengar tangis.
Karena tak seorangpun tahu.
Sedalam rasaku untuknya.
Bahkan sinarnya tak mampu melukiskan.
Hanya kesedihan yang tergambar.
Mustahil suaraku terdengar olehnya.
Tak mungkin ia sadar atas rasaku.
Selirih apapun bisikan.
Pastilah terdengar saat hati bernyanyi.
Benar, aku salah mencintaimu.
Dan bagiku…
Cinta tak mungkin hilang.
Hanya saja sentuhnya bukan lagi untukmu.
Yang pernah menyakitiku.
Karena aku sadar.
Yang berarti untukku hanya kau seorang.
Yang mampu mengartikan rasaku.
Dalam setiap hela napas kehidupan.




AKU DAN MEREKA
(Oleh: Arumsari)

Hening bukan berarti sepi.
Bukan pula ku sendiri.
Tetapi kenapa tak ada satu suarapun yang memanggilku.
Memanggil untuk mengajakku bermain layaknya sebuah opera.

Aku hanya terpaku.
Menantikan sebuah adegan sandiwara.
Menipu banyak kepak dengan imajinasi.
Mereka sungguh cerdas.
Mereka sungguh menarik.

Tak ada satupun yang dapat aku bedakan.
Antara fakta dan sandiwara.
Mungkinkah mereka yang begitu pintar.
Ataukah aku yang terlalu bodoh.
Keadaan ini begitu sulit kupahami.

Aku masih menikmati heningnya duniaku.
Dunia yang begitu kecil.
Dunia yang mampu membuatku merasakan segalanya.
Walaupun terasa menyedihkan.
Dengan semua ketidaktahuanku tentang mereka.



HAMPA
(Oleh: Endang Setyowati)

Di malamku yang sunyi.
Di pagiku yang sendiri.
Terbayang akan kenangan kita.
Janji yang dulu setia.
Dan kini kau mengingkarinya.

Kini kau menjauh dariku.
Melupakan cerita cinta kita yang dulu.
Namun tak sedikitpun sesal dalam hatiku.
Karena telah mencinta.
Dan kini aku hanya bisa menangis.
Dalam kehampaan terbayang akan semua tentangmu.



CITA DAN CINTA
(Oleh: Faesal Imadudin)

Cita impian.
Cinta khayalan.
Tertampung dalam sebuah wadah diri kita.

Cita berakal tulus.
Cinta berakar nafsu.
Ketika mereka berada.
Tak ada lagi hal.

Cita berujung asa.
Cinta berujung putus.
Ketika mereka beradu.
Yang tercipta ialah putus asa.

Ironi?
Cita tak sampai karena cinta.
Cinta tak sampai karena cita.



KORUPSI ADA KARENA DIA ADA
(Oleh: Galang Setianto)

Dia yang duduk.
Tak jarang mengantuk.
Sampai palu diketuk.
Bangun (pun) masih bercelatuk.
Memang terkutuk.
Dia yang kotor.
Dalam sidang diam dan molor.
Kadang buka situs kotor.
Tidak lain dan tidak bukan adalah koruptor.
Dia yang korupsi.
Ambil uang taruh laci.
Dimasuki ke slip gaji.
Tetap cari mati.






PANGGUNG PENGHUJATAN
(Oleh: Galang Setianto)

Ketika rasa ini dibatasi
Cinta tak berani tinggi
Sayang tak mau panjang
Rindu tak lagi lebar
Bahkan harus terelakan kebahagiaanku buat mereka
Aku hanya meneguk air mata ini untuk berpesta
Entah berapa banyak air mata yang terjatuh
Aku benci
Muak, berbenar muak!
Tak kunjungnya mereka bendungkan airnya
Apa maunya?
Jauh pun dari Jawa samampai Berlin sudah terlaksana
Diam pun laksana percakapan semut dan lalat
Tak juga mereka buat surutnya laut
Laut benci-berbenci
Bicaralah agar puas!
Apakah  kau (mereka) terlalu lapar menjadi sok khalifah?
Hanya ocehan yang menguburku dalam kemuakan
Hingga ku kirimkan surat kepada tuhan
Agar  karma-Nya kian datang
Bukan pembalasan dendam
Tetapi  pertanggungjawaban




SUATU RASA
(Oleh: Gandeng Yustina)

Suatu rasa dengan berjuta makna.
Suatu rasa sejuta pesona.
Tiada rasa yang dapat menolak.
Satu rasa.
Beribu makna.
Tak ada daya menolaknya.
Namun kini hambar terasa.
Semua berkabung tiada arti.
Semua hanya ada dalam mimpi.
T’lah pergi dan takkan kembali.
Hingga layunya bunga abadi.




MIMPI
(Oleh: Helmi Adib)

Dalam hidup pasti ada mimpi.
Tanpa mimpi hidup takkan jadi pasti.
Sejak kecil aku selalu bermimpi.
Untuk meraih masa depan yang pasti.

Aku selalu berharap suatu saat nanti.
Aku bisa menjadi orang yang berarti.
Karena itulah aku selalu bermimpi.
Bermimpi…
Dan bermimpi…

Dengan bermimpi aku bisa.
Mempunyai sebuah tujuan.
Agar bisa berguna.
Bagi orangtua bangsa dan negara.
KESEPIAN
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Aku berada di malam yang sepi.
Sendiri, dalam kekosongan.
Dengan tetes airmata.
Yang terus menetes tanpa henti.
Langit tampak begitu mendung.
Bulan dan bintang,
Yang sering muncul itu…
Kini tak terlihat sedikitpun.
Semuanya terasa gelap.
Hanya ada angin yang tertiup kencang.
Sehingga membuatku.
Kedinginan dan ketakutan.
Aku kesepian, kini aku sendirian.
Sungguh aku kesepian.
Tiada lagi tawa dan canda.
Yang ada hanyalah tangisan.
Dan airmata.



MUNGKIN KAU SUDAH TAK MENCINTAIKU LAGI
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Masih saja aku mengingatmu.
Hingga aku terbangun dari tidurku.
Sepertinya ini akan sulit.
Meskipun setiap kali meyakinkan.
Hatiku untuk melepasmu.
Rasanya, aku masih merasakan.
Dengan jelas hangat tanganmu.
Saat menggandengku.
Rasanya, masih jelas terdengar suara.
Canda tawa-tawamu ditelingaku.
Sungguh aku tak ingin pergi darimu.
Namun kuharus melakukannya.
Aku tak ingin terus berada di sini.
Dengan rasa sakit dan ketakutan.
Karena mungkin kau tidak mencintaiku lagi.



PUISIKU
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Aku menulis sebuah puisi.
Sebuah puisi yang tak satupun orang mampu memahami.
Aku menulis dengan tanganku.
Dan hatiku tanpa otakku.
Puisi itu mengalunkan irama, menurutku.
Tapi kata orang puisi itu sepi.
Puisi itu penuh makna, setahuku.
Tapi kata orang puisi itu kosong.
Biar!
Biar orang lain tak mengerti.
Biarkan orang lain tak memahami.
Untuk apa?
Jangankan puisi, diriku saja mereka tak pernah mengerti.
Biarlah hanya aku yang  mengerti puisiku.
Karena memang hanya aku yang mengerti diriku.



SELAMAT TINGGAL
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Mungkin memang aku yang telah berubah.
Mungkin memang aku yang lain kini.
Mungkin aku yang sudah tak bisa menerimamu lagi.
Mungkin aku yang sudah tak sanggup menahanmu lagi.
Aku yang selalu menjadi penghalangmu.
Aku yang selalu menjadi benalu bagimu.
Mungkin aku bisa merubahmu.
Tapi bukan hatimu.
Mungkin juga aku bisa menerimamu.
Tapi bukan kebohongan-kebohonganmu.
Aku melepaskanmu…
Bukan ingin menyakitimu.
Aku pergi darimu…
Bukan ingin melukaimu.
Tapi aku ingin membebaskanmu.
Dari belengguku.
Yang kutahu itu sulit bagimu.
Selamat tinggal.




DOSAKU
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Aku terletak di sebuah meja.
Seperti selembar kertas putih tapi ku tak putih.
Bagai kertas dengan goresan-goresan tinta.
Namun aku sendiri.
Tuhan… aku ingin berkata pada-Mu.
Namun aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
Tuhan… kotorkan aku dengan segala dosa yang telah kuperbuat.
Dengan nistaku ini.
Aku ingin kembali seperti selembar kertas.
Aku tak ingin sendiri lagi.
Namun apa dayaku?
Dosaku telah membekas di hati.
Di hati siapa?
Di hati semua orang yang telah kusakiti.



TONGKAT SIHIR
(Oleh: Kiki Rauha Wasadad)

Aku bermimpi memiliki tongkat sihir.
Kubuat sebuah rumah.
Tapi rumah itu tak berdinding.
Ku bangun semua harapanku di sana.
Tak ada dinding.
Namun selalu ada tempat untuk bersandar.
Tak ada selimut.
Namun selalu terasa hangat.
Tapi itu hanya ada dalam mimpiku.




PANGGILAN SAKRAL
(Oleh: Latifah Oktafiyani)

Ketika matahari kemabali ke peraduannya.
Ketika burung-burung kembali ke sarangnya.
Ketika gema adzan mulai bergetar.
Ketika Sang Penggoda tak dapat bergerak di balik ketakutan.

Panggilan sakral yang menyejukkan.
Menggetarkan hati yang beku.
Membuka mata yang buta.
Menyirami jiwa gersang.

Sayang, sering tak didengar.
Oleh telinga yang terlalu tuli.
Oleh hati yang terlalu angkuh.
Jiwa-jiwa munafik tersesat.
Enggan mendengar panggilan sakral.
Bahkan dengan volume terkeras.
Panggilan yang terdengar di seluruh  penjuru negeri.



SESAAT
(Oleh: Latifah Oktafiyani)

Kemolekan dunia yang fana.
Membutakan mata.
Desah suara yang mengundang menyumbat telinga.
Gemerlap surga dunia yang menyilaukan.

Sesaat,
Dunia yang sesat,
Yang penuh tipu daya.
Permainan berulang dari nenek moyang.
Semakin terlelapkan dalam penuaan.

Sesaat,
Dunia yang sesaat.
Menyesatkan anak adam.
Hingga tak dapat kembali.
Berakhir di jurang kemaksiatan.

Yang beriman, Yang Bertahan.
Yang Bertakwa, Yang Dapat Kembali.
Yang dekat dengan Tuhan.
Yang dapat menikmati indah dalam kebadian.
Bukan, Bukan indah sesaat.
TAK SAMPAI
(Oleh: Latifah Oktafiyani)

Lembar-lembar usang yang terbuang.
Goresan tinta yang tertuang.
Terukir cerita cinta masa remaja.
Cinta dalam diri yang tersembunyi.

Cinta tentang mata yang tak terlalu lebar.
Garis wajahnya yang tegas.
Tubuh tinggi dan kulit cokelat.
Baunya yang khas wangi.

Terbayang selalu dalam angan.
Suaranya yang terngiang-ngiang.
Detak jantung mempercepat laju.
Saat bertemu di lorong sekolah.

Sedih tak dapat disangsikan.
Ketika cinta tak dapat terungkap.
Tersembunyi dalam kepolosan.
Tertuang dalam catatan tatapan mata tak terbalas.
Kehangatan kasih yang tak tersampaikan.
Terkunci dalam doa tersembunyi.
Tubuh tinggi dan kulit cokelat yang mengacuhkan.

Biar seperti ini,
Dalam perasaan yang tak pasti.
Mengurung diri yang tak berani.
Merasa hati paling tersakiti.
Padahal diri tak mau mengakhiri.



SAKURA
(Oleh: Marshelia Nindyastuti)

Seperti Sakura…
Semerbak di Musim Semi.
Dan kemerahannya yang tak abadi.
Kelopakmu ini hingga layu.

Seperti sakura…
Yang mengagungkan keindahan.
Tanpa tebersit kesombongan.
Dan kesenjaan yang membuatnya kuyu.

Seperti sakura…
Dan keabadiannya yang tak pernah ada.



APA KAU TAK MENGENALIKU?
(Oleh: Maulana A. M. A)

Apa kau tak mengenaliku?
Berbulan-bulan ku menunggumu.
Menunggu bersama sayang dan rindu.
Mengusap, berkata, harapan penting.
Menabur cinta melewati dinding.
Apa kau tak mengenaliku?
Dulu kutanam dengan cinta.
Hingga tunas dari taruhan nyawa.
Menumbuhkanmu dengan air gunung putih segar.
Tiupan kehidupan mengujimu tegar.
Apa kau masih tak mengenaliku?
Tak apa buah hati harapan waktu.
Kau pohon kuat kekar.
Aku bahagia lega segar.
Aku dapat lapuk menuju ketenangan.
Jadi debu akhir hidup bahagia tertiup angin.
Dan Tuhan Maha Tau.
Terima kasih anakku.




SYAIR JELEK
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Kusyairkan kata-kata yang kubikin sendiri.
Kubisikkan ke setiap kuping di balik pintu tak mengerti.
Syairku diabaikan.
“Elegi monyet jelek, biarlah jelek.”
Syairku menjadi elegi.
Kucuri elegi tiap-tiap penyair mati.
Kusamarkan bau bangkainya.
Aku menyanyikan elegiorang lain.
Sampai- sampai aku lupa elegiku sendiri.
Elegiku marah.
Elegiku berontak.
Biar saja si penyair kehilangan otak!



SEDANG SEDIH
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Ssshh…
Diam.
Bulan sedang merajuk malam ini.
Enggan aku mengasah kuping untuk keluhannya.
Dia berkabung.
Untuk lintang-lintang kecil yang merajut Sang Pembangkang di keningnya.



SANG NARSIS
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Aduhai…
Siapa gerangan berbayang bulan di sungai.
Elok berkecipak air kubelai.
Hendak kukecup namun tak jua sampai.

Sang Narsis…
Dicumbunya bayangnya sendiri.
Bukan kepalang sakit sukma meringis.
Tak tahu perih, mencinta imaji.
Payahlah…
Mengadu dadu tak sampai waktu.
Dia terkutuk.
Sampai kapan cintanya terantuk-antuk.



JAM MATI
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Tik tok.. tik tok…
Jam berdetik meringkik mengikik.
Mengejek nyawa-nyawa di antara jarumnya.
Tik tok… tik tok…
Jam berdetik pada angka dua.
Selalu angka yang sama.
Dan entah pada apa.
Tik tok… tik tok…
Tidak bisa diam.
Tik tok… tik tok…
Berisik.
Tik tok… tik tok…
Berhenti.
Mati.
Tik tok… tik tok…
Menyakiti.
Meski kuserahkan padanya sepi.



JIKA
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Jika elegiku mengembunkan tangis.
Maka biarkanlah aku berkidung.
Kaulah senandung.
Dan aku kesangsian.
Jika elegiku mengembunkan tangis.
Biarkanlah.
Namun, kalaupun jika…
Kau tahu.




PENJAHIT LANGIT
(Oleh: Minna Audy Ameliann Nz)

Akulah Sang Penjahit Langit.
Kuselipkan benang di sela lintang.
Berserakan. Tapi segera harus kurapikan.

Akulah Sang penjahit Langit.
Kuhampar saja mesin berisik.
Lindungi Gaia dari monster lumut bersisik.
Biar saja manusia tak berkutik.

Akulah Sang Penjahit Langit.
Langit kehilangan kancing.
Benang-benangku berjatuhan.
Sehelai,
Dua ratus helai…
Monster lumut bersisik menyeringai.
Aku bersembunyi di balik meja mesin jahit.
Dan bunyinya berderit menggigit.
Siapa aku?
Akulah Sang Penjahit Langit.
LABUHAN TERAKHIR
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Sampai,
Telah sampai kapal.
Di sebuah dermaga.
Mengikis garis ombak.
Datang ke tepian.
Agar tak hanyut.
Datang ia setelah badai.
Dengan secerca rindu pada simpai.
Sampai maut sampai.
Ya...
Telah sampai kapal.
Membawa angan.
Yang menyayat rindu berdebu.
Di alam penuh keluh.
Aku merindu.
Huh..
Kini bersama lagu.
Terhenti saat kapal ke tepi lagi.



SAJAK LARI
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Satu
Dua tiba
Tiga menyusul
Empat ia menyelip
Lima datanglah juga
Enam berlari terburu
Tujuh melampaui semua
Delapan seterusnya
Tak ada hingga




ELEGI SATU CINTA
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Aku dan samudera
Juga sang camar.
Bernyanyi sendu.
Sebuah elegi.
Yang terjuntai oleh tali cintaku.
Sungguh kumerindu.
Tak ingin berlalu.
Aku menyayat cinta.
Yang hanya kata.
Kau tanam benih duka.
Aku rela
Aku terjaga
Di palung duka.
Walau elegi terheti,
Namun gaungnya,
Samar menyayat duka.
Hingga purnama berhenti,
Pasangkan laut tangisku.
Hingga kau berlabuh,
Ke palung dukaku.


SI GELAS BELIMBING
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Jika memang engkau kaca.
Dan memang engkau kaca.
Mereka mungkin diam.
Namun sampai sekarang.
Sampai gelembung mulutnya.
Mereka tak diam.
Kisruh tentang kaca.
Tentang beningmu itu.
Mereka kaku.
Mereka ragu.
Apakah kau benar si kaca belimbing?
Mungkin kau pecah saja dirimu.
Agar mereka diam.
Agar mereka percaya.
Bahwa memang kaubelimbing dari kaca.



LAYANG-AN
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Kutinggalkan utara melaju ke timur.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan timur melaju ke selatan.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan selatan melaju ke barat.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan barat melaju ke utara.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan utara melaju ke selatan.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan selatan melaju ke barat.
Rehat sesaat.
Kutinggalkan barat melaju ke timur.
Tamat sesaat.



SERENADA MUSIM SEMI
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Jalanku menujumu,dibagiannya.
Ku jumpa dengan serpih titik,lara,luka.
Serba-serbi tentang suka.
Tentang gugur autumn.
Di semi,
Tak kujumpai dibagiannya.
Tawa,tentang dara
Tentang semi yang pertama.
Di jalan yang ke-lima,enam.
Akan menujumu.
Memeluk elegi.
Dari hembus sisa nafasmu.
Kan ku terka,walau itu adanya.
Kau layak muson,datang tak nampak.
Menerka,tak bisa aku elak.
Menghempas,wahai lara.



NOKTAH LUKA
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Bulan satu, bersinar merindu.
Kemari kemarau sukar meniru.
Terheran mega tentang rasa.
Tentang jiwa diantara pemegang raga.
Jiwa kala itu terpenuhi dahaga.
Sukarlah mengelak apapun cinta.
Meringkuk peringai berperi curiga.
Maka terbanglah logika kemananya suka.
Telah membekas noktah satu luka.
Murungnya mengharap pada murka.
Guna menghapus noktah luka ke satu.
Murungnya gusar merindu dahulu.
Kepada pemuja untuk mengadu.
Sukar gusar mengakar jadi padu.
Pada ia satu,dua,tiga dan seterusnya



SATU KETUKAN
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Satu ketukan, kalut bertuan
Satu ketukan, beribu berlarian
Satu ketukan, darah menajdi bah
Satu ketukan, bumi terbelah merekah
Satu ketukan, dunia samudera
Satu ketukan, tiang-tiang melayang
Satu ketukan, langit melilit
Satu ketukan, bumi bulan bertemuan
Satu ketukan, akhir peradaban




PURNAMA
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Bulan penuh.
Bulan peluh.
Namun riuh.
Hadirkan gemuruh.
Sekalian luruh.
Bentangan peluh.
Pelukan jauh.

Purnama kini.
Sampai terkini.
Mudahan hakiki.
Mudahan perhati.


45˚
(Oleh: Ndaru Septian Adli)

Kami merapat,
hormat
kami sempurnakan 45˚

Wahai yang terhormat,
Kami penat
melihat
menjilat
menjerat
mengerat
Kamu muncrat

Kami tegak
siap-gerak
sesaat
serentak
LELAH
(Oleh: Nisa Erlinda)

Diam ku berbisik renungku berdoa.
Rinduku datang tangisku mengalir.
Lemah ku tak berdaya.
Marah ku melunjak.
Ah… apa itu?
Aku tak tahu.
Entah sampai kapan.


Aku lelah…
Tak tahu apa yang harus kulakukan.

Ingin ku rasanya berteriak.
Biar semua tahu apa yang kurasa.

Tuhan…
Apakah ini baying kata yang ingin ku ucap.
Tapi…
Tak sedikitpun terucap.
Aku hanya bisa diam.
Diam…
Diam…
CATATAN BULAN JUNI
(Oleh: Restu Shofa Maelana)

Kususuri pagi petang,
Perlahan remang remang.
Langkahku tak bersuara.
Tapi embun membasah sampai mata kakiku.
Hmm, melatinya tak mau kalah,
tebar pesona keharuman padaku.

-Siapa yang mati?-

Sadar, tak beralasanku disini.
Tapi entah apa...
Menarik diri dari sisi,
Aku masih menyusuri jalan beraspal namun berembun ini.
Ringan saja langkah ini..

-Tanpa sesalkah?-

Lalu, aku belok di tikungan itu.
Benda berpendar jatuh tepat di atas pundakku...
Ah....lampu jalan ini rusak, menciprat panas ke pipiku.

-Apa maksudnya?-

Pagi petang, tak pernah sepetang ini.
Bulan sedang bermuka pucat pula…
Seperti ingin menjatuhkan diri,
ke pelukanku…
Akupun tak habis pikir,
Mengapa perlu ku sesalkan?
mengapa harus kecewa menghinggap?
Ini Juni..
Tak pernah sedingin ini sebelumnya..
Ini kemarau..
Menambah kering rerumputan..
Gersang pula rambutku ini..
Benar memang .
Dan memang benar, pemikiranku sudah usang meski tak mau hatiku layu terendam...

-insomnia?-

Dipagi petang, seperti ini?
Angin menubruk hebat dadaku,
Oh… Benarkah ini?
Mereka mati?
Berserakan kemana mana mayat,
Apa?
Ini bukan embun?
Ini darah?
Ini bukan bau melati?
Ini bau darah?
Aku lalu ingat...
Akulah pembunuh mereka...
Mereka kubunuh bukan tanpa alasan
Ku lanjutkan jalan ketimur...
Dengan masih menetes, lumuran darah di kiri tanganku.....

-25juni2011-

KAMIS
(Oleh: Ria F. Hidayati)

Kamis…
Kala datang gerimis.
Menyentuh hati nan tipis.
Jeritan dalam tangis.

Kamis…
Rasa penuh egois
Takkan habis
Takkan pernah digubris

Kamis…
Galau tengah berbaris.
Duka merajuk sadis.
Sungguh tak tertepis.
Kamis…
Kisah yang romantik.
Kisah nan dramatis.



GORES
(Oleh: Riskita Aksanti)

Goresan-goresan tinta.
Jadikan rangkaian  kata-kata indah.
Indah jika terdapat kata-kata kiasan.
Yang mengubah kata menjadi makna.

Hidup ini memang indah.
Karena hidup dapat menjadi sejarah.
Namun hidupku tak seperti kata-kata kiasan.
Yang seperti, andaikan…

Semua terpampang nyata.
Semua terlihat di depan mata.
Semua orang mungkin bisa.
Tapi tak semuanya pasti bisa.



DAN
(Oleh: Avril)

Dan bila suatu kapan.
Tembikar retak tiada bertuan.
Pecah cahaya seribu malam.

Gemuruh rasa penuh keluh.
Luruh lirih melagu peluh.
Dalam ketemaraman senja menuju gulana.
Menanggung resah….
Menyerbak putik bunga mati.

Dan bila suatu kapan.
Asa rapuh bergugur renta tua.
Padanya…
Ada musim abadi kelam.



KAU
(Oleh: Avril)

Seperti Sushi,
Mentah tak berarah.
Hanya bentuk Sushi,
Abstrak,
Terbalut gurihnya nori.
Mengapit sumpit.
Pedas wasabi.
Bulat dorayaki.
Bundar melingkar di atas piring.

Seperti Sushi,
Mentah tak berarah.
Hanya bentuk Sushi,
Abstrak,
Terbalut gurihnya nori.
Mengapit di antara sumpit.
Pedas bagai wasabi.
Bulat bagai dorayaki.
Bundar melingkar di atas piring.



KENANGAN
(Oleh: Chuchuen Lestari)

Kau hadir dalam keseharianku
Kau juga tawarkan tawa di kehidupanku
Meski hanya tersimpan di hati
Membuat semua lebih berarti

Khayalan tentangmu tersisa di memoriku
Kau pergi jauh tinggalkan diriku di masa lalu

Kini hati berusaha lupakan kenangan yang ada
Semakin kucoba, hati semakin tak bisa



Tentang Penulis:


Ambarwati lahir pada 19 Maret 1996 di Pekalongan.Gadis yang hobi mendengarkan musik dan membolak-balik kamus ini bertempat tinggal di Ds. Tanjungsari, Kajen, Pekalongan.Bercita-cita sebagai Guru Bahasa Jerman mengikuti jejak wali kelasnya Herr Kisworo.Ia dapat dihubungi melalui facebookAmbar-ssi PetalsChullpa atau melalui email:
Ambar.cah.dkt@gmail.com

Anggit Fajar N. T dilahirkan secara normal di Pekalongan, 13 November 1996.Dia tinggal di Sidomulyo, Kec. Lebakbarang, Pekalongan. Ia menyukai semua hal yang berhubungan dengan teknologi perkomputeran. Hobinya adalah berolahraga dan bermain game. Cowok pemalas ini tidak begitu pintar dalam pelajaran, tapi ia yakin akan menemui kesuksesan di masa depan. Emailnya:
Anggit.fajar@ymail.com

Arumsari lahir di Pekalongan, 21 November 1996.Ia tinggal di Desa Harjosari, Kec. Doro, Kab. Pekalongan.Gadis yang masih aktif di kelas XII ini bercita-cita untuk menjadi Guru Bahasa Indonesia sejati. Dapat dihubungi melalui:
arumbahasa@gmail.com

Endang Setyowati lahir di Pekalongan pada 7 Januari 1995, tinggal di Kandangserang, Pekalongan.Gadis yang bercita-cita sebagai guru Bahasa Jawa ini sedang duduk di kelas XII Jurusan Bahasa di SMA 1 Kajen.Ia dapat dihubung melalui emailnya:
endangcutecyankakoe@yahoo.co.id

Faesal Imadudin lahir di Pekalongan, 4 desember 1996.Cowok dengan rambut tegak ini sangat menyukai hal-hal yang berbau seni dan mengekspresikan diri sesukanya.Ia tinggal di Desa Tambakroto, Kajen, Pekalongan. Prestasi yang pernah ia raih saat ini belum ada. Dapat dihubungi melalui email:
Imadudin64@gmail.com

Galang Setianto lahir di Pekalongan, 28 Juni 1996. Merupakan pribadi yang sederhana aje tapi berwibawa. Sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan desain. Cowok yang hobi browsing dan membaca koran ini tinggal di Ds. Nyamok, Kajen, Pekalongan. Dapat dihubungi melalui facebook Galang Setianto atau melalui email:
Galangsetianto@hotmail.co.id

Gandeng Yustina adalah gadis kelahiran 17 Oktober 1996 yang masih aktif di kelas XII.Ia tinggal di Dk. Nambang, Gg. Mbang Asri RT/RW 01/01 Ds. Nyamok, Kajen, Pekalongan. Ia dapat dihubungi melalui facebooknya Yustina Gayus atau melalui email:
Tawa.nada@gmail.com

Helmi Adib lahir di Pekalongan, 4 September 1996.Ia menyukai hal-hal yang berbau teknologi, olahraga dan musik.Ia terobsesi untuk menjadi seseorang yang ahli dalam teknologi dan membuat orangtuanya tersenyum bahagia. Dapat dihubungi melalui email:
michaelapoyanggelo@yahoo.com

Kiki Rauha Wasadad lahir di Pekalongan, 11 Februari 1996. Gadis dengan bintang aquarius ini tinggal di Kesesi, Pekalongan.Gadis yang gemar menyanyi ini sangat ingin menjadi seorang koki.Ia dapat dihubungi melalui email:
kikiwasadad@gmail.com

Latifah Oktafiyani lahir di Pekalongan, 6 Oktober 1996.Memiliki cita-cita sebagai penyiar berita yang handal.Gadis yang hobi menulis puisi dan artikel ini sekarang bertempat tinggal di Pekiringan Alit, Kec. Kajen, Pekalongan. Emailnya:
Latifahthemicky@gmail.com

Marshelia Nindyastuti merupakan gadis berusia 17 tahun yang sangat gemar membaca.Impiannya saat ini adalah menjadi orang yang berpengaruh di dunia dengan motonya kebahagiaan paling indah yaitu saat mimpi menjadi nyata.Gadis ini dapat dihubungi melalui email:
m.nindyas@gmail.com

Maulana A. M. A

Minna Audy Ameliann Nz adalah gadis kelahiran Pekalongan, 4 Maret 1997. Gadis yang ingin mendapat Nobel Sastra ini bertempat tinggal di Ds. Gejlig, Kajen, Pekalongan. Hobinya menulis novel, cerpen, puisi dan menyanyi. Dapat dihubungi melalui email:
Audyminna@gmail.com

Ndaru Septian Adli lahir pada tanggal 13 September 1996 di Ds. Jatiroyom, Kec. Bodeh, Kab. Pemalang. Sekarang tinggal di tempat itu juga. Ia dapat dikunjungi melalui twitternya @NdaruSeptian, atau melalui email:
adlindaru@yahoo.com

Nisa Erlinda lahir di Pekalongan, 14 Agustus 1996. Gadis yang hobi menonton tv ini beralamat di Ds. Wangandowo, Bojong, Pekalongan. Gadis berbintang leo ini dapat dihubungi melalui email :
Nisa_erlinda@yahoo.com

Restu Shofa Maelana lahir di Semarang, 2 Desember 1995. Hobinya tidur dan tidak suka dingin.Anak pertama dari dua bersaudara ini sekarang tinggal di Perum Griya Kajen Indah, Pekalongan.Ia dapat dihubungi melalui email:
Restu.shofa@gmail.com

Ria Fika Hidayati adalah gadis kelahiran Pekalongan, 27 Agustus 1995.Hobinya mendengarkan musik, menonton film dan membaca.Gadis berbintang virgo ini bercita-cita menjaadi guru Bahasa Asing. Gadis ini sekarang bertempat tinggal di Desa Pedawang, Karanganyar, Pekalongan. Ia dapat dihubungi melalui :
Riasetia12@yahoo.com

Riskita Aksanti dilahirkan di Pekalongan pada 26 Juli 1996.Gadis yang biasa dipanggil Santi ini sangat menyukai olahraga, terutama jogging dan bulutangkis.Gadis berbintang Leo ini bercita-cita menjadi polisi.ia dapat dihubungi melalui email:
akhsanty@yahoo.co.id

Avril lahir di Pekalongan, 14 Juli 1995 dengan nama Yulia Purnama Safari.Gadis berdarah Jawa-Betawi ini tinggal di Kedungwuni, Pekalongan. Gadis yang bercita-cita menjadi orang sukses ini sekarang disibukkan dalam kegiatan seperti dance community, skateboard dan band. Gadis yang easy going ini dapat dihubungi melalui email:
avrillavigne@kissfans.com

Chuchuen Lestari adalah gadis kelahiran 8 Juni 1996. Gadis yang akrab disapa Chuchuen ini memiliki hobi mendengarkan musik yang biasa ia lakukan di masa senggang. Ia bercita-cita menjadi seorang pengusaha, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, dia berusaha untuk menjadi pribadi yang disiplin waktu. Emailnya yang dapat dihubungi:
Yuyunpuji4@gmail.com

Post a Comment

0 Comments