Cerpen

CINTA
Galang D'Otnaites

Masih terkenang bui-bui cinta yang menerpa hati Darton, tetapi rasa itu tak seindah dulu. Kurang lebih hatinya telah berkorban untuk mencapai apa itu cinta. Ya, cinta memang tak bisa dimengerti. Terkadang cinta itu datang dengan sendirinya tanpa kenal waktu tempat dan suasana. Belum banyak terkuak rahasia cinta, tapi misteri benci yang menjadi cinta pastinya menjadi bukti keajaiban cinta.
Air penghilahatannya mulai membasahi relung-relung kelopak matanya, wajahnya memerah dengan airmata yang meraba wajahnya.”Ahhh! Mengapa kau harus pergi kasih!” Jeritnya memecah heningnya malam. Ditangannya masih tergenggam secarik kertas yang mulai basah menyerap air luka Darton.  Di dalam kertas berbaris itu tertulis,”Dear Darton, kekasih pujaanku . Tampaknya waktu tak memberiku cukup waktu untuk berlama-lama dengan kau. Orang tuaku mengajaku pindah kenegeri sebrang. Tapi aku tak percaya dengan apa itu LDR, aku tau mungkin aku akan lalai dan mungkin menyakitimu. Jadi, dengan sisa cinta dihatimu, tolong ikhlaskan diriku meninggalkanmu. Mungkin suatu waktu nanti ku jemput kau, walaupun aku sudah menjadi istri seorang saudagar. Mantan Kekasihmu, Karisso.”
Tak lama jatuhlah kertas itu di lantai depan rumahnya, isak tangisnya tak mungkin tertembus lampu karena Darton telah mematikan lampu. Tapi rasanya ia tak peduli lampu bumi menyaksikannya dengan purnamanya, sementara rasi-rasi tampaknya menutup kelopaknya sebagai simpati atas jatuhnya hati sang Darton. Dia masih meratapinya. Punggungnya bersandar pada bangku kayu berplistur. Sementara kepalanya mendengak ke atas memandang lampu bumi. Tangannya melambai ke tanah. Begitu lemas. Terkadang di angkat tangannya mengusap relung matanya yang memerah.
Dia kemudian memutuskan untuk berjalan, untuk mengobati rasa sepi. Begitulah kiranya orang yang baru putus hati. Diselimuti sepi yang luar biasa. Rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Batinnya bak terkena stroke. Langkah-demi langkah mulai menjauh. Tapi kepalanya masih menunduk kebawah dengan tangisan terisak isak.
Malam itu begitu sepi, tiada bising motor, tiada lampu yang ditinggal molor. Gelap. Ingatan-ingatan memori tentang “Dia” menguasai otaknya. Dia akhirnya terhenti di sebuah bangku reot tua, seakan-akan kusamnya member tahu seberapa lama bangku itu terduduk. “Tuhan, jikau menciptakan manusia berpasang-pasangan, mengapa Engkau harus memisahkan jalinan yang diharapkan? Kenapa?!” Protesnya kepada Sang Kholiq. “Ahhh! Awas kau Karis! bertahun-tahun kujaga perasaanku, berlarut larut pengorbananku, inikah balasanmu? Ha?!” dia berbicara membabi buta. Tanganya menghantam pohon nangka di belakangnya. “Keparat kau! Dimana janjin manismu yang dulu? Apakah kau terlahir hanya untuk menjadi pendusta?! Kau tak tahu tulus hati ini memilihmku” Teriaknya menderu sambil menangis dengan pilu. Suatu yang tidak terduga pun terjadi. Darton mulai mengambil alih posisi penulis. Mengubah sudut pandang orang ketiga serba tahu menjadi orang pertama pelaku pertama. Penulispun tidak bisa merekayasa ceritanya
***
Aku masih ingin mencacimaki Karisso lukanya menyiksaku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Tak lama aku duduk di bangku ini, aku baru ingat jika orang-orang mengkeramatkan bangku ini. Aku ingat cerita Bibiku bahwa dulu disini ada perempuan bunuh diri. Sekejap bulu kuduku merinding. Sial kenapa harus aku ingat! Ah!. Aku mulai merasa takut seakan-akan roman pohon nangka mulai menghisap jiwaku. Aku tak tau dengan pasti, tiba-tiba mataku menutup. Aku tidak bisa membukanya, mulutku terasa terkunci. Dan sendi-sendiku seperti menjadi batu. Dalam seribu kecemasan aku merasa tubuhku melayang. Hatiku bergejolak, dadaku perih, semakin perihh, rasanya ingin ku menjerit, tapi mulutku tak kunjung terbuka  dan aku hanya bisa bernafas seperti di luar angkasa. Dan pada hela nafas ke tujuh aku tak tau apa yang terjadi.
Aku bangun tempat tadi dengan langit yang berwarna siang. Tapi aku heran sejak kapan ada perempuan di atasku. Apa?  Ternyata aku tidur di pangkuan dia?. “Darton kau sudah bangun?” ucap wanita itu sambil mengusap kepalaku. “A a  a  a  Anda sia a pa? jawabku gemetar sambil mengajak tubuhku untuk duduk. “Aku Maryam”. “Maryam siapa? Aku tak pernah memiliki teman bernama Maryam?”. “Duduklah disampingku, lupakanlah itu. Kau pasti sedang petah hati?”. Oh, tidak. Dia membuatku ingat memoriku tentang sakit hati itu. Aku kembali duduk lemas, mengingat lagi memori itu.
“Sudah-sudah jangan kau seperti itu, jangan kau tergesa-gesa menghardik Karisso, kau harus sabar” ujarnya mencoba menenangkanku. “Tapi aku tak kuat, rasanya ingin mati saja?” kataku tak mau tenang. “Hemm, jangan kau berfikir untuk itu, kau pikir mati itu enak? Kau pikir mati itu dapat dijadikan jalan keluar? Kau tau aku saja menyesal memilih mati?” ucapnya dengan nada rendah.”Apa?? kau sudah mati?” kataku kaget setengah mati. Aku hampir lari. ”Ya, akulah orang yang bunuh diri di bangku tua itu 10 tahun silam” Jawabnya dengan pandangan yang tajam. “Haa?? Terus apakah aku sudah mati pula? Suasana disini memang terlalu asing bagiku?” Jawabku lebih kaget dari setengah mati. “ Tenanglah, kau tidak mati. Kau hanya terhisap ke negeri di dalam pohon nangka ini. Kebetulan aku sendiri.” Ucapnya padaku.
Dia menyuruhku kembali duduk di sampingnya, dia menceritakan sebuah cerita dengan sudutnya. “kau mau mendengarkan bukan ?” tanyanya. “Ya, tentu saja. Dengan senang hati”. Dia pun akhirnya mulai menceritakannya.
“Kisah ini berawal ketika aku hendak ulang tahun. Ketika itu kekasihku berucap akan memberikan hadiah kepadaku. Aku sangat menantinya, walaupun masih kurang dua hari. Aku begitu mencintainya, dengan ketulusan jiwaku aku ingin bersamanya selalu. Tetapi aku tak percaya. Aku melihat kekasihku, Ejay. Dia sedang berduaan ditaman dekat rumahku. Aku shock melihatnya. Hatiku teriris iris. Aku menghampirinya. Ku panggil namanya dan “plak!” suara itu mendarat di pipinya “Tega sekali kau lakuin ini? Apakah ini kado specialmu?!” tanyaku membentak. Tanpa mendengar kata-katanya. Aku mengurung diriku dikamar selama setengah hari. Air mataku tak terhitung lagi liternya. Keluargaku tak tahu.
Pada malam harinya aku kabur lewat jendela, aku benar-benar kalut. Luka yang ku bawa lari ku rasa mulai menjerumuskanku. Aku berlari sekencang-kenjangnya, air mataku terjurai kemana-mana. Dan aku memutuskan untuk istirahat. Ya, dibangku tua itu. Hatiku benar-benar mati rasa, tubuhku melemas, batinku kalut. Aku tak kuat menahannya. Kulihat pisau berkarat dibawaku.  Tanpa pikir panjang ku hunuskan pisau itu ke perutku. Rasanya sangat perih. Sangat sakit rasanya. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Tiba-tiba aku ada di dimensi ini. Sampai sekarang pun masih ku rasakan sakit itu. Aku bahkan tak bisa diangkat ke akhirat karena bunuh diri. Aku mohon padamu, tolong doakan aku. Tolong temuilah kekasihku di Daerah Wilko.”
Aku mendengarnya seakan-akan tak percaya, tapi di perutnya masih tergambar jelas lukanya. “Tetapi kenapa aku baru lihat?”  tanyaku dalam hati. Mendengarnya aku jadi iba, dan aku mulai kehilangan rasa sakitku pada Karisso. “Aku pasti melakukan itu untukmu Maryam” jawabku dengan terburai airmata. “Sekarang pejamkanlah padamu, aku ingin mengirimkan kau pulang, dan jangan kaget dirumahmu”. Tiba-tiba aku merasakan sakit yang serupa dengan awalnya. Dan ku dengar keramaian dan tangisan. “Apa yang terjadi”? tanyaku dalam hati, ketika membuka mata ku lihat sekumpulan keluarga melingkariku. Membukanya mataku berubah menjadi haru keluargaku.  “Apa yang terjadi Ma?”  tanyaku lemah pada Mamaku. “Kau tak bangun selama sehari sayang, Pamanmu menemukanmu di bangku keramat itu?” jawab Ibuku sambil menangis. Aku mencoba memahami kejadian itu.
***
Aku mulai paham bahwa cinta itu bukan segalanya toh tak bisa menjamin kebahagiaanku. Aku mulai mencoba ikhlas. Ku buang rasa ingin bunuh diriku jauh-jauh. Bertemu Maryam membuatku sadar untuk lebih tabah dan tidak kegabah. Aku berjanji untuk menunggu mantan kekasihku, Karisso. Aku akan kembali padanya, walau aku tak tahu kapan. Dan mungkin harus ku ikhlaskan jika itu kebahagiaan untuknya.
Oh, ya aku lupa aku harus menemui seorang di Wilko. Akhirnya aku pergi kesana, dengan tanya sana dan tanya sini aku akhirnya menemukan rumah Ejay.  Aku mengetuk pintu rumahnya dan dia mempersilahkan masuk, dia masih tampak muda walaupun dia menjawab usianya 39. Aku pun menceritakan segala tetek bengek perkataan Maryam. Alangkah terkejutnya aku, ternyata sebenarnya Ejay tidak berselingkuh, dia hanya mencoba mengetes perasaan Maryam. Gaun pengantin yang sangat indah berdiri di ruang tamunya. Ternyata itu hadiah yang dijanjikannya. Ejay akhirnya sadar bahwa wanita itu paling tidak suka dites kesetiannya. Dia berkata bahwa dia tidak tau dimana Maryam meninggal, keluarga Maryam sudah kedarung membencinya dan menutupi semuanya.
Yang mengejutkan hingga sekarang dia tak beristri, bukan karena tak laku melainkan sebagai ganti atas apa yang dia lakukan. Yang dia mau hanyalah Maryam. Sejenak aku diam mendengar cerita sedih ini. Aku pun kembali ke rumah dan dalam hati yang tenang. Ku serahkan sudut pandang orang pertama pelaku pertama kepada penulis, sehingga di rubah menjadi sudut pandang orang ketiga serba tahu.
***
Akhirnya Darton pun sadar bahwa sebagai manusia janganlah terlalu berlarut kesedihan. Kematian tampaknya bukan jalan keluar terbaik. Dia akhirnya menunggu Karisso. Tapi  ternyata Karisso mengidap penyakit parah akhirnya meninggal dunia. Darton pun kembali pada tingkat depresinya. Dan entah apa yang terjadi.


Post a Comment

0 Comments