SINGA SAHAYA
Galang Setianto (2012)
Beberapa ekor singa menatap dengan begitu buasnya, menatapku menatap orang yang melihat, menatap sesuatu yang ada di depannya. Wajahnya tak terlalu begitu seram, tapi matanya melotot, taringnya terlihat tajam. Sekejap batinku agak takut tapi jiwaku tetap tenang. Mata singa itu seperti memperhatikan detail gerakanku. Singa itu berbulu cokelat halus, badannya sebesar dua kepal tangan orang dewasa. Singa itu tak sanggup bergerak, bahkan sekedar untuk mengedipkan mata pun tak bisa.
“Abi, buat apa kau perbanyak boneka singa itu?” Tanya istriku, “biarlah kelak anak kita bahagia melihat kawanan boneka singa ini Umi” kataku, “Tapi kapan kita punya anak Abi, atau tuhan tak kan karuniakan kita anak?”, “Hmm, ini belum kuasa tuhan umi, sabarlah sejenak!”, “terserah Abi saja, Abi pikir tak risih apa melihat kawanan singa ini?” gertak istriku memelototkan matanya.
Aku tak perdulikan cakap istriku, marah biarlah marah aku tak terlalu memikirkannya. Aku terus mengelus boneka singa itu untuk menidurkan pikiranku. Bahkan benakku bagai menyatu dengan gerombolan singa itu. Tiap kali aku melewati toko boneka singa, aku selalu siapkan uang untuk sekedar membeli lagi. Aku tak tahu untuk apa sebenarnya ku beli boneka singa sebanyak itu hingga memenuhi sisi ruangan bonekaku.
Aku kadang takut jikalau puluhan singa itu hidup. Mungkin semua isi rumah akan hancur berantakan. Tapi itu hanya boneka, tak kan membuai menjadi asli pikirku.
“Sudah satu jam bersantai ria, tak sempat kau temui aku Abi” gertak istriku membuka pintu ruangan bonekaku, “sabar Umi, biarlah ku tenangkan pikiran awak ini” Jawab ku, “Butuh berapa waktu lagi Abi?, pusing awak melihat gerak polah abi?”, “Apa artinya yang kau ucap tadi Umi?”, “hmmm, cobalah pikir sendiri Abi, pikir dengan usia Abi yang berkepala tiga!” seru istriku meninggalkan ruanganku. “Umi..” sahutku, ku kejar dia yang tampak bermandi air mata. Aku merasa salah akan kelakuanku, mungkin kurang perhatianku terhadap istriku. “Umi, awak tau awak salah, ma’afkan Abi..” ucapku meraih tangannya. “Lupakan semua itu Abi, tiada kesalahan untukmu Abi, ini kehendakku yang terasa membebanimu, aku tak apa, pergilah!” suara lirih istriku. Sejenak kulepas genggaman tanganku ditangan istriku dengan harap tiada kemarahan yang menyangga.
Ketika surya tenggelam, malam mencekam. Aku takut, istriku takut. Terdengar duyunan suara telapak kaki yang menggebu-gebu. Raungan menggelegar terdengar di telingaku. Singa, itu yang ada dalam benakku. Terdengar dari tempat tidurku, ruangan bonekaku terbelalak gaduh. Raungan itu kian menjadi, teriakan-terikan manusia menggema. Terdengar hilir lirih menyambangi batinku, aku pasrah. Raungan itu menghentikan jeritan airmata manusia. Seruan senjata tak luput mengeruhkan suasana, aku tak tahu apakah tembakan polisi atau pemburu buta. Beberapa jendela terdengar pecah, tapi bukan dari jendela rumahku. Istriku heran bukan kepalang merasakan tiada terjadi apa-apa dengan rumahku. Rajutan suara menyakitkan menyelinap dihatiku. Aku cemas takut menanti, tapi aku tak mau begitu. Acuh aku malah mengatupkan mataku untuk tidur, tak aku peduli dengan naungan singa itu. Tak perduli jika aku mati diterkam singa itu nanti.
**#**
Panggil istriku bangunkan aku dari tidurku di pagi hari. Serasa tak memedulikan istriku aku langsung beranjak ke ruang bonekaku. Aku kaget, melihat keadaan boneka singaku yang berantakan. Istriku yang mengikuti langkahku tertegun melihat beberapa boneka itu robek dan berdarah di tepinya. “Apa yang terjadi pada boneka singa itu Abi?” tanya istriku, aku hanya menggelengkan kepala seraya memberi makna bahwa akupun tak tahu. Seperti dalam seribu kecemasan aku lari keluar rumahku tuk melihat situasi dijalan depan rumahku.
Tengokanku terbengong melihat pemandangan yang mencengangkan batinku. Sebaran pecahan kaca yang tanggal dari jendela bercampur dengan beberapa mayat orang yang bak tercabik-cabik taring singa. Jasad itu robek dengan usus yang terjeruntai. Ada pula yang kepalanya terpecah dengan lubang menganga. Aku tersengir takut dan cemas merasakan bagai bangkai kapal bajak laut terhantam bom atom.Penuh dengan mayat yang tak karuan nan kacau balau. Pandangaku sejenak terhenti akan nampaknya boneka singa yang ku yakin itu milikku. Peluru nampak masih jelas menancap dikepalanya. Bekuan darah yang melingkari peluru pun jelas terlihat. Aku bingung dengan itu. Aku terus berkhayal, berfikir yang ku kira sebuah hal yang logis tentang kejadian itu.
Belum lama aku bermandi keringat mencengangkan melihat kejadian itu, puluhan orang seperti akan menghadiri rumahku. Melihat itu ku balikkan langkah kakiku ke rumahku dan menutup pintu rumahku. Aku bersiap jika suatu yang tak di inginkan terjadi.
“Hai orang dirumah ini kami tak terlalu tahu kalian, tapi semalam kami lihat gerombolan singa lenyap di depan rumah kalian, keluarlah!” seru suara kumpulan orang dengan lantang.Istriku panik dan menanyaiku “Abi, apa yang terjadi sekarang ini? Apa boneka singa itu menjelma jadi singa yang buas tadi malam?”, “sudahlah biar aku yang menemui mereka, dan Umi janganlah berpikir tidak-tidak” jawabku perlahan.
Ku mantapkan langkah kakiku membuka pintu dan merambat ke terasku, “Okeh, kalian diamlah, kenapa berprasangka buruk? Kalian pikir awak yang memelihara singa itu? Lebih baik kalian pergi, jangan pancing emosi awak!” Ucap mulutku. “Oke kami pergi, tapi jikalau terbukti hilanglah kau!” jawab seseorang dari gerombolan yang ku taksir sebagai provokator mereka. Aku nampak acuh dengan semua itu, melihat kepergian mereka aku kembali ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu tuk sekedar merenung.
Tak lama duduk terenung tubuhku mulai bergejolak merasa panas yang luar biasa di tubuhku. Asap yang mengepul dari belakang rumahku membuat penasaran pikiranku yang telah kepanasan. Aku mengikuti belaian kepulan asap itu. “Umi! Apa yang kau lakukan pada boneka awak!” erangku kaget melihat boneka singa ku dibakar habis-habisan. “Umi tak mau orang-orang berpikir negatif soal ini, awak pikir semua ini sudah cukup membuat Umi risih Abi!” jawab istriku bermuka murung, “Kenapa kau tak bakar aku sekalian? Berapa lama awak kumpulkan ini Umi, coba pikirlah!, “Buat apa pula Abi mendiami puluhan singa ini yang kian menggunung! Abi yang seharusnya pikir cakapnya!” marah istriku menajamkan tatapan matanya.Tiba-tiba aku kian tak karuan, keringatku membasahi jiwa tanpa ampun. Aku hanya bisa terdiam termakan kata-kataku.
Giliran menatap abu puluhan bonekaku, aku tergeletak tidur tiba-tiba. Hanyalah bayangan semu singa-singa mengendus dan menjilati hidungku. Aku pun tak mendengar suara lagi melainkan jeritan singa yang meneteskan air mata. Tak kulihat lagi istriku, aku tidur terkapar tanpa sadar…
0 Comments