Kisah ini berawal saat aku masih remaja
beranjak dewasa, sekitar zaman penjajahan rezim Jepang sebelum adanya peristiwa
Bom Hirosima. Aku hanyalah seorang anak muda yang mencari jati diri. Namaku
Ketoet Soegiarto, aku terlahir dari orang biasa-biasa saja di daerahku . Daerah yang jarak antar rumah
masih berjauhan, dengan jalan yang masih berbatu dan berlumpur yang menurut
bahasa daerahku adalah dlemak-dlemok.
Terlebih jika malam merundung, tiada
kebisingan terdengar melainkan jeritan jangkrik yang menggebu-gebu bersaing
dengan naungan kodok. Cahaya malam hanyalah bersumber dari lampu sentir (damar)
yang berwadah botol bekas. Rumahku pun masih berdinding untaian anyaman bambu
dengan atap dari alang-alang yang kering.
Tapi malam ini terasa beda, renungan
berita bibir mencibir dimana-mana bahwa penjajah rezim Jepang akan segera
datang dengan berita lara. Semua penduduk berkerumunan di seorang tetua, aku
yang sedikit takut hanya bisa mengikuti orang dewasa. “Kita harus bisa mencari
siasat untuk selamat dari pemberontakan penjajah” ujar tetua, “Jikalau Allah
memihak kita, mungkin tak salah jika berlindung di gua tegalan yang tak jauh”
ucap Pak Sugiarto yang tak lain adalah ayahku. Perbincangan 20 kepala keluarga
itu sungguh terasa cukup sengit dan mendebarkan, tapi aku hanya bisa terdiam
karena takut jika salah ucap. Ketika waktu berinjak tengah malam perundingan
terselesaikan dengan menuai pendapat ayahku walau sebelumnya banyak yang tidak
menerima pendapat ayahku karena berbahaya, tapi karena tak terlalu yakin akan
berita tersebut, penduduk memutuskan untuk bermalam dirumah.
Ayam belum genap berkokok suasana mulai
mendebarkan, suara ledakan meriam di daerah seberang yang amat dahsyat
terdengar di telingaku ”Duuaaaaaaar” hingga membangunkan tidurku, aku takut
setengah mati dan terbangun membayangkan kalau hidupku akan tiada. Aku pun mulai
berlari dari rumah tanpa arah diantara malam yang terasa begitu mencekam dan
gelap gulita. Kerumunan orang mulai
terlihat ketika beranjak pagi, dan disitu pula aku bertemu Laksmi, wanita muda
yang berkarisma. Tapi tiba-tiba “dooorrr” suara senapan menggaduhkan suasana,
ternyata di daerah seberang penjajah membabi buta. Kami pun berlarian pergi ke
daerah tegalan dengan tergesa-gesa. Tapi kepanikan membuat Laksmi yang berlari
denganku jatuh tersandung batu, hingga aku harus menggendongnya tergopoh-gopoh
untuk menyelamatkannya. “Bang Ketut, aku tak kuat lagi, kakiku terasa sakit
bang” rintih Laksmi di perjalanan. “Sabar Laksmi kau harus kuat, tunjukan bahwa wanita itu tak lemah”
jawabku terengah-engah sambil berlari. “Glabruuk” jatuhku terpleset licinnya
lumpur, kejadian itu membuatku tak enak dengan Laksmi, tapi apa pun itu aku
terus berlari menggendong Laksmi untuk ke gua tegalan “Ntak-Ntak”.
Sesampai disana ternyata gua begitu
gelap, dan ada banyak kubangan lumpur yang merupakan habitat nyamuk, aku
sebenarnya tak terlalu yakin dengan
tempat itu tapi tidak ada yang bisa ku perbuat. Sekitar 60 orang ada di gua itu,
dan beberapa penduduk lain yang memiliki ilmu bersembunyi didalam lumpur yang
dalamnya mungkin sekitar 2 meter. Dan suara tembakan terdengar menggemparkan
suara burung yang bertebangan, badanku mulai bergetar menahan dingin dan rasa
takutku. Dan suara hempasan kaki terdengar diatas gua, dan terdengar suara “Search the anyone in here,
found and kill them”, “yes Sir”
saut suara lain. Semua orang menjadi sangat ketakutan dan begitu diam tanpa
sepatah kata pun dan penjajah dipastikan mengikuti jejak kaki penduduk.
Beberapa saat tak ada lagi suara tapak
kaki, tapi kami semakin takut. “Apakah para penjajah yang mungkin ada 4 orang
itu pergi atau mendekati kita??” tanyaku dalam kegelisahan hatiku. Tapi,
hatiku mulai tenang karena tak terlihat
tanda-tanda penjajah. Dan perkiraan kami penjajah telah pergi ke daerah lain,
tapi itu belum ada kepastian juga.
Sekitar 12 jam terdiam di tempat itu,
aku menjadi bosan dan ingin segera keluar dari gua karena tak tahan dengan
gigitan nyamuk yang haus darah “Tetua, mungkin kita bisa keluar sekarang”
kataku dengan suara lirih kepada sesepuh. “Kau mau cari mati haa? Bagaimana
jika penjajah itu masih di atas? Kau ingin bunuh kami semua?” tandas sesepuh.
“Betuul” seru orang-orang”, “Tapi apa gunanya kita disini terus? Apa kalian
tahan dengan gigitan nyamuk ini? Lagi pula jika kita disini terus pasti akan
mati karena kelaparan..” bantahku, “silahkan kamu pergi jika tidak betah tut”
ucap sesepuh. “Lebih baik mati karena ingin melawan penjajah dari pada mati
kelaparan, apa kalian tau? Kita itu orang Indonesia tapi kenapa kita tak
menjunjung tinggi rasa nasionalisme haa?!” seruku. Suasana mendadak gaduh tak
karuan, mendebarkan antara hidup dan mati. Ketika ku ingin beranjak pergi
tangan ayahku menarik bajuku hingga hampir robek dan berkata “Apa kamu yakin
dengan semua ini Tut?”, “Daripada diam, Apakah itu lebih baik yah?” tandasku,
ayahku diam dan perlahan melepaskan tangannya dari bajuku. “Aku ikut denganmu
Bang Ketut” kata Laksmi, “Laksmi, yang benar saja kau kami masih menyayangimu Laksmi
aku tak mau kehilanganmu” sela Ibu Laksmi. “Tapi kata Bang Ketut bener juga
Bu!” tandas Laksmi. “Biarlah mereka pergi, itu hak mereka juga kenapa kita
melarang mereka, jika mereka mati mungkin itu takdir..” kata sesepuh dengan sok
bijaksana. Akhirnya aku dan Laksmi pergi keatas dengan memanjat batu-batuan,
tapi karena Laksmi yang sedikit pincang jadi aku tuntun perlahan.
Ternyata dugaanku salah ada 4 penjajah 1
orang pemimpin yang hendak memasang 1 ranjau, takut menyelimuti setiap langkahku
hingga cukup dekat. Dan inisiatif untuk melempari mereka dengan batu sehingga
ranjau mengenai mereka sendiri muncul di otakku. Tak ingin membuang banyak
waktu, aku ambil batu dengan seluruh kegelisahanku dan ketakutanku dan
melemparnya tepat dikepala penjajah yang sedang memasang ranjau dan tiba-tiba
“Duaarr” 3 penjajah itu terkapar karena kepala mereka terkena ledakan ranjau.
Tapi itu tak jauh beda denganku, kerena terlalu keras melempar batu hingga aku
terjatuh dan kaki kiriku terkena ranjau yang tersisa, “Duaaar” suara ranjau meledak dilangkah kakiku
“Aaaaaaaaak’...” Jeritku dengan sangat keras disertai tetesan air mataku. Laksmi
yang melihatku terdiam dan menganga seketika, kaki kiri hingga pergelangan
kakiku putus bersimbah darah. Ceceran darahku juga mengenai pakaian Laksmi,
melihat keadaanku dia menyobek sebagian kain lengan bajunya untuk membungkus
kaki kiriku.
Mendengar suara jeritanku beberapa orang
termasuk ayahku dan ayah Laksmi menyusulku. “Ketut kenapa kakimu nak” tangis
ayahku melihatku, “lebih baik ayah urus para penjajah itu dulu agar tak
mengganggu kita lagi” ucapku sambil merintih. Mendengar perkataanku semua orang
di gua dipanggil untuk ke atas gua. “Kau memang anak pemberani nak! Saya bangga denganmu jika kau tak seberani ini mungkin
orang-orang akan mati di gua karena hanya diam semata” celoteh sesepuh. Sambil
berhiaskan air mata ayahku menggendongku dengan suka rela. Sejak itu sesepuh
menamai daerah itu dengan sebutan “Nyamok” yang artinya “Ngenyam (Mempunyai)
Kamokten( Beberapa Makna)” mungkin kata itu berasal dari kata “nyamuk”, tapi tidak menutup kemungkinan dari kata
“dlemak-dlemok”.
Setelah aku dibawa pulang ke daerah
rumahku yang menjadi bernama Nyamok, aku pun selamat walau kaki kiriku di
amputasi dan menjadi sangat dekat dengan Laksmi. Selang beberapa tahun
terjadilah Bom Nagasaki dan Hirosima hingga terjadinya The Vacum Of Power (Kekosongan Kekuasaan) yang berakhir dengan
merdekanya bangsa Indonesia.
Kini semuanya berakhir dengan bahagia
walaupun kakiku tak utuh lagi, tapi aku bangga bisa berkorban memberanikan diri
untuk kepentingan bersama. Dan itu memberikan kesan tersendiri dihatiku
sehingga tak dapat ku lupa begitu saja.
=====o0O Selesai O0o=====
Cerpen Fiksi
Nyamok, 1 Februari 2012
0 Comments