Contoh Cerpen SMA, Contoh Tugas Cerpen

Mendung di Mata Lasih


Ketika Kisah cinta selalu berakhir dengan airmata
Waktu tak bisa memberi ruang tuk mengubah takdir-Nya
Seandainya bisa mungkin tiada orang menderita
Karena cinta akhirnya bisa menetukan takdirnya
***
Ada selaput tangis yang terdengar mengaung-ngaung. Beberapa kepala berkerubung, sebagian terburai airmatanya jatuh mencium darah di atas aspal jalan. Darah melukis kanvas aspal hitam, menyibak lukisan abstrak. Terdengar jerit ibu-ibu berdaster “Ya Allah Astagfirullahhal’adzim…”. Sesosok wanita berbaju putih abu-abu tergeletak, wajahnya tampak berbalut darah. Tampak seonggok huruf menuai nama Lasih Ruslamwati di baju wanita itu, terkucur darah. Tak beberapa lama suara ambulan memecah riuh tangisan, tempat tidur beroda keluar dengan tergesa-gesa dari ambulan. “Minggir-minggir bapak ibu, korban harus cepat dibawa” ucap petugas ambulan membelah gerombolan massa. Petugas membawa sosok wanita tersebut menuju rumah sakit.
Seorang laki-laki yang mengaku sebagai pamannya yang tak sengaja lewat disitu langsung mencari pengemudi angkot yang katanya menghantam anaknya dengan rangkaian besi berjalan itu. “Dimana sopirnya ? saya bunuh sekalian! Mati Kau Bang!! mau balapan kok di jalan raya! Awas kau, aku cincang kepalanya!” ucapnya. ”Tenang mas, jangan emosi. Sopirnya  mau dibawa ke kantor polisi. Tadi udah kami pukuli rame-rame kok, walau nggak sampe mati..” ujar beberapa orang yang menjegal paman itu agar tidak meronta-ronta. Sementara itu, beberapa masa tampak asyik menghantamkan batu ke kaca angkot berwarna hijau itu. “Bakarrr!!!”. Sebotol bensin disiram ke tubuh angkot yang tanpa kaca itu. Dan, akhirnya Sang Jago merah kini beraksi mengibaskan sayapnya dan mengepulkan nafasnya.
“Mas, anakmu mas, anakmu kecelakaan” ucap terbata paman wanita itu. “Apa?? Kecelakaan dimana om? Keadaannya gimana?” Jawab dari telepon dengan nada tangis mengiris. “Di Jalan Jatimulyo, dia sudah dibawa ke rumah sakit  Harapan Luka. Saya mau kesana dulu nanti mas langsung kesini” balas paman itu.
***
“Hallo, Om?” celatuk telepon paman. “Iya, mas. Mas udah sampai?” jawab paman. “Sudah, ini di depan lobi. Ruangan Lasih mana ?” tanya Ayah tergesa-gesa. “Mas, masuk lobi terus ke kiri naik lantai dua cari ruangan ICU..” jawab Paman. “Haa? Ruang ICU? Apa dia parah? saya langsung kesitu, kamu jangan kemana-mana tunggu di depan pintu..” ucap khawatir Ayah.
Ayah Lasih langsung menuju lobi, namun langkah kakinya terhenti satpam rumah sakit. Jam yang belum mendentumkan waktu jenguk memaksa Ayah tidak bisa masuk. Tapi Ayah memaksa, “Saya harus masuk! Coba kalau anak Anda yang kecelakaan dan anda tidak boleh melihat gimana? Anda punya otak?!” Sang Ayah mulai meronta menahan tangis. Namun, tak kunjung juga 2 satpam itu memberinya jalan “maaf, saya hanya menjalankan tugas!”. Ayah menjerit membelah langit “Woyy, dokter saya mau masuk anak saya barusan kecelakaan!! Biarkan saya masukkk!!“.” Sabar Pak, apa nanti kita kesini lagi” ucap Ibu. “Tapi, Ma. Anak kita di dalam”ucap Ayah. Sang Ayah kian menjerit “Apa kalian tuli?! Apa kalian tak punya kuping? Apa kalian harus patuh dengan aturan jam jenguk dalam keadaan genting seperti ini?!”. Lagi-lagi tiada respon. Ayah menelepon paman, yang tak lain adalah Om Darto yang telah di dalam sejak tadi, bahwa dirinya tidak diperkenankan masuk.
Selang beberapa menit wajah paman tampak di belakang satpam. Paman mengajak bicara satpam dengan tatapan serius. Akhirnya, satpam mempersilahkan Ayah masuk. Ayah berjalan cukup cepat dan menggandeng Ibu mengikuti langkah paman. Sesampainya di ruang ICU, Ayah hendak masuk namun kru dokter tidak memperbolehkannya karena masih ada tindakan medis. Akhirnya, mereka hanya menunggu di depan Ruang ICU.
“Ceritanya itu gimana Dar? Kok tiba-tiba Lasih kecelakaan?” tanya Ayah pada paman.
“Tadi itu saya lewat jalan jatimulyo mau ke kantor. Kok dari jauh saya lihat kerumunan tidak jauh sekolahan lasih, saya akhirnya cari tahu dan ternyata ada kecelakaan. Anak perempuan dan masih SMA motornya tertabrak angkot dari depan. Saya tanya-tanya  sama anak SMA dalam kerumunan, katanya yang kecelakaan di baju OSIS-nya ada tulisan Lasih Ruslamwati. Mendengar itu saya kaget, terus waktu mau lihat eh sudah dibawa petugas ambulan. Tapi, tiba-tiba Pak Dikin suaminya Bu RT bilang itu Lasih anaknya mas.” Jawab Om Darto, yang merupakan Paman Lasih.
Mendengar jawaban itu Ibu menangis, Ayah tertunduk meratapi lantai yang tak bersalah namun selalu diinjak. Dokter tiba-tiba keluar dari ruang ICU dan memperkenankan untuk masuk dalam jangka waktu 5 menit. Mereka langsung bergegas masuk, tetapi Lasih belum sadarkan diri. “Dok, kok mata anak saya diperban?” tanya Ayah tersedu. “Mata anak bapak terkena pecahan kaca helm, Pak. Mungkin matanya akan terluka. Kepala juga terkena benturan tapi untung dia memakai helm, jadi cuma gegar otak ringan.“ jawab dokter. Mendengar jawaban dokter hati Ayah teriris, Om Darto menepuk dingin punda Ayah untuk bersabar.
*** 
Malam hari terasa syahdu, sejak sore tadi Ayah dan Ibu menunggu. Paman Darto telah pamit pulang dan memberitahukan kejadian ke sanak saudara.
Suara pintu terbuka, menarik mata Ayah dan Ibu, tampaklah segerombol sanak famili datang membawa buah tangan. Suasana terdengar cukup riuh, beberapa pasang mata menahan kaca di mata mereka mendengar cerita Ibu dan Ayah Lasih. Tiba-tiba, “Bu, kok gelap?” suara Lasih menyenyapkan suasana. “Ibu!! Lasih takut” lanjutnya. “Nak, kamu kenapa Ibu disini sama Ayah. “Ibuuuuuu, ibu dimanaa? Ibuuuuu!!!” jerit keras Lasih dengan tangan seakan mencari Ibunya. Dia memberontak hingga selimutnya terlepas, kakinya menendang-nendang ketakutan. Suaranya terdengar seperti menangis, tetapi airmatanya seakan menggores luka dimatanya, semakin dalam, semakin pedih. Lasih menjerit lagi membuat orang di ruang ICU, takut dan bertanya-tanya. “Tenang nak, sabar Ibu disini.” Tanggap Ibu memeluk Lasih. “Lasih nggak bisa lihat apa-apa, Bu. Ibu, Lasih takut, mata Lasih sakit perih, Lasih kenapa?” ucap Lasih.
Lasih mencoba menenangkan batinnya, dia seperti tersesat dalam gua tanpa cahaya, tidak ada yang bisa dia lihat kecuali warna hitam. Ayah langsung mencari dokter dan membawanya ke ruangan Lasih. Dokter menyuruh penjenguk untuk keluar, tetapi para penjenguk memutuskan untuk sekalian pulang. Ibu mengucap maaf kepada sanak famili tanpa melepaskan pelukan Lasih.
Dokter terlibat perbincangan serius dengan Ayah, Ibu memperhatikan wajah Ayah yang terlihat terkaget. Mereka berbicara menjauhi Lasih, seakan tidak ingin Lasih mendengarkan rintihan hati Ayah dan terkaan Pak Dokter. Selepas perbincangan, Ayah mengatakan bahwa besok perban Lasih bisa dicopot. “Jadi Lasih bisa sembuh, Pah?” tanya Ibu. Ayah menjawabnya dengan senyum. “Lasih, kamu tenang saja kamu pasti sembuh.” Tenang Ibu. Tersirat kebahagiaan di bibir Lasih.
Dokter menyiapkan segala peralatan untuk melepaskan perban Lasih, tiada lupa obat untuk menenangkan Lasih agar tak merasa sakit. Terlihat keringat dokter ketika memeriksa mata Lasih, asistennya mengulap keringat Tenaga Penyembuh dengan hati-hati. Dalam waktu setengah jam akhirnya perban selesai dilepas tetapi Lasih masih belum terbangun dari bius. Namun, kedua orang tuanya masih setia menungguinya. “Ayah, Ibu kok Lasih nggak bisa liat apa-apa? Perbannya belum dicopot ya?” tanya Lasih tiba-tiba terbangun. Ayah dan ibu menangis tersedu. “Nakk, kamu nggak papa kan?” Kata Ayah menangis. “Nggak papa, Yah. Tapi Perbannya buruan dilepas dong, Lasih kepingin lihat Ayah dan Ibu. Lasih kangen.” Ucap Lasih. “Per.. Perbannya sudah dilepas nak..” jawab Ibu terbata menangisi Lasih. “Apa maksud Ibu?” tanya Lasih penasaran. “Kamu buta nak, pecahan kaca ternyata merusak kornea matamu” Jawab Ibu menangis terisak-isak. “Ibu bercanda kan Bu? Ibu Pasti bercanda!” tangis Lasih, “Kenapa Lasih harus buta Bu? Lasih nggak mau buta! Lasih masih pingin lihat dunia ini bu!” ucap Lasih mengamuk. Lasih menjerit,, jeritanya memecah belah ruangan ICU, kakinya menendang-nendang seakan tak terima dengan nasibnya “Aaaahhh!!!!”. “Tenang Nak, kamu jangan seperti itu” ucap ibu terburai air matanya. Dalam ruang ICU bak terkena banjir airmata, mata para suster yang melihat pun ikut menangis begitu dalam.
***
Waktu akhirnya mengantar Lasih ke rumahnya, namun suasana tampak beda. Awal kepulangannya memang tampak sama. Namun itu berubah, berubah begitu cepat. Tidak ada yang bisa menerka takdir Tuhan. Terkadang kebahagiaan harus berlalu begitu cepat dan kepedihan terasa begitu lambat, bahkan sangat lambat. “Ayah, Lasih kepingin sekolah..” ucap Lasih mendengar kehadiran Ayahnya, “Apa sekolah? Kamu itu sudah buta nak, buat apa sekolah?!” balas Ayah. “Ayah kok beda? Apa waktu telah mengubah Ayah? Kan aku bisa sekolah di SLB yah..” ujar Lasih. “Gimana nggak berubah, kamu aja berubah buta kan sih?” ucap Ayah menyakiti Lasih. “Tapi yah, Lasih itu anak Ayah! Walaupun buta tetep anak Ayah kan? Lasih cuma pengin sekolah” protes Lasih. “Sudahlah, kubur harapanmu nak!” ucap Ayah. “Ayahh!! Jangan kayak gitu sama Lasih..” teriak Ibu. “Ini demi kebaikan Lasih, Bu. Jangn ikut campur..” bentak Ayah. “Aku benci Ayah!!!” teriak Lasih dan menelungkupkan posisi tidurnya. Ayah dan Ibu terlihat berbicara dengan nada tinggi dan keluar dari kamar Lasih.
Lasih masih terus merenung perih, tangis masih menemani rintih lukanya di kamar. Para bantal bagai para kurcaci yang siap setiap waktu mendengar  titah sang Ratu.Kamar itu menjadi aksi bisu. “Aku kira ini akan semudah dalam cerita “Ayah Mengapa Aku berbeda?” yang pernah aku tonton, ternyata aku salah. Ternyata dunia ini lebih kejam, bahkan untuk sekedar tertawa pun aku tak mampu. Kebahagian berlalu begitu cepat. Aku bahkan tak mengira akan seperti ini, tapi sekenario Tuhan benar-benar membuatku pasrah, tetapi kenapa harus aku yang buta? Kenapa bukan orang lain?! Ahh!” celatuk Lasih dalam hati.
Lasih merasa bosan, ia meminta agar diajak keluar. Namun Ayahnya berkata, bahwa itu akan membuat malu keluarga. Ayahnya tampak begitu berbeda, lebih keras dan lebih tegas justru ketika Lasih tidak bisa melihat lagi. Lagi-lagi hanya tangis yang menemani Lasih. Meskipun dengan menangis, ia akan memperperih luka di korneanya yang telah bernanah. Tapi apa daya karena itu yang Ia bisa menangis dan menangis.
“Assalamu’alaikum Om, kami teman Lasih, kepingin njenguk Lasih.” Ucap rombongan anak SMA. “Lasihnya lagi di rumah nenek, kalian balik dulu ya? Om sedang sibuk, ini mau pergi lagi..” kata Ayah Lasih. Lasih yang mendengar suara rekannya langsung berucap, “Ayah itu siapa..”. Teman-temannya yang mendengar suara lirih Lasih pun bertaya, “Lha itu suara siapa Om?”. “I.. itu suara Ibunya lasih, sekarang lebih baik pulang ya?” jawab Ayah sedikit bingung. Setelah rekan-rekan Lasih pergi, Ayah menghampiri Lasih dan berkata, “Itu tetangga ada yang nyari Ibu”. “Tapi kok kaya suara temen SMA aku yah?” tanya Lasih, “Bukan, itu teman-teman Ibu. Kamu nggak lihat kan? Jadi jangan membantah nak..” ucap Ayah, mendengar jawaban Ayah, kepedihan menyelimuti Lasih.
Desir angin terdengar menyelinap ke kuping Lasih, angin terdengar bernyanyi cukup keras. Paduan suara dedaunan menjadi musik yang menentramkan bagi Lasih. “Lasih….” Suara lembut memanggilnya. “Ayah?” jawab Lasih. “Iyaa, Sayaang..” balas Ayah. “Ayah, udah nggak malu punya anak buta? Tumben-tumbenan Ayah manggil Lasih sayang?”. “Boleh nggak? Kan Lasih anak Ayah…”. “Ayah terlihat beda. Lasih suka Ayah yang seperti ini.. Ayaaahh, Lasih nggak kuat hidup seperti ini, Lasih nggak mau bikin Ayah malu, Lasih sayang Ayah dan Ibu. Lasih pengin mati yahh…” ucap Lasih terburai airmata. “Hush, kamu jangan bilang gitu, Ayah punya kabar gembira buat kamu. Kamu akan bisa melihat Nak”. “Yang bener yah?”. “Iya, Ayah dah nemuin pendonornya..”. “Alhamdulillah, Siapa yah?”. “Rahasia dong, besok kamu operasi sayang”. Tiba-tiba Lasih mendengar Ibunya menangis, “Ibu..?? Ibu kenapa apa Ibu nggak suka Lasih sembuh?” tanya Lasih yang tak tahu ibunya dimana. Langkah kaki Ayah terdengar menuju arah tangisah, terdengar gumaman suara-suara yang tak bisa Lasih rangkai. Tapi mendengar kata Ayahnya, Lasih lega dan bahagia.
***
Operasi akhirnya dilaksanakan oleh Lasih dan Pendonor mata. Operasi memakan waktu hampir 5 Jam hingga operasi benar-benar selesai. Operasi berjalan dengan lancar, terlihat senyum Ibu berselimut tangis. Akhirnya operasi pun berhasil, meski Ayahnya harus menjual tanah keluarganya. Tapi itu bukanlah suatu hal yang berarti dibanding kesembuhan Lasih.
“Lasih, setelah operasi kamu bisa sembuh setelah 5 hari dan perban bisa dicopot” ucap Ibunya setelah Lasih bangun. “Iya bu. Ayah mana?, Lasih kangen Ayah yang kemarin.” Tanya Lasih merindu. “Ayah… Ayahh di desa ngurus penjulan tanah untuk pengobatan kamu sayang” Jawab Ibu. Tiba-tiba Ibu terdengar terisak-isak menangis. “Ibu kenapa? Kok nangis?” tanya Lasih, “Ibu nggak papa, Ibu nangis seneng akhirnya kamu bisa sembuh” Jawab Ibu.  
***
Lima hari menunggu akhirnya, Lasih bisa melepas perbannya. Namun, sudah 5 hari juga Ayahnya belum bisa pulang, bahkan Lasih yang disuruh ke Rumah neneknya. Lasih pun bersedia jika perbannya benar-benar sudah terlepas dan dia bisa melihat.
Akhirnya, perbannya mulai dilepas perlahan oleh tim dokter. Matanya sudah bisa melihat setitik cahaya menembus perban yang terlihat semakin jarang. Dia hanya bisa melihat cahaya yang menyilaukan ketika pertama perbannya dilepas. Lasih melihat-lihat ke sekeliling setelah 2 minggu dia hanya melihat kegelapan. Selang beberapa saat ia bisa melihat dengan jelas. Ia mendatangi Ibunya dan langsung memeluk ibunya dengan buraian airmata. “Ibu, Lasih kangen. Lasih sayang Ibu..” peluk Lasih. “Ibu, juga kangen kamu sayang, akhirnya kamu bisa sembuh.” Balas Ibunya sembari memeluk. Lasih melepaskan pelukannya sembari bertanya, nanti kita langsung ke rumah nenek ya Bu? Lasih kangen Ayahh..”. Ibunya tampak sedih, dan meneteskan airmata. “Kok Ibu menangis? Tanah Ayah nggak laku ya Bu?” tanya Lasih bertubi. Namun, Ibu justru menangis terisak-isak. Ibu tak menjawab namun memberi Lasih sepucuk surat. Lasih seakan tak sabar dan membuka surat itu.

Dear Anakku tersayang, Lasih Ruslamwati.
Kamu sudah sembuh ya? Sudah bisa melihat sekelilingmu juga kan? Ayah pasti senang kalau bisa melihatmu, tapi Ayah nggak bisa melihatmu lagi. Ayah sekarang masih di rumah nenek, kalau sudah sembuh langsung kesini ya Sayang?
Ada yang ingin Ayah beritahukan sama kamu, maafin Ayah ya sudah pernah marah-marah waktu kamu sakit. Ayah sengaja melakukan itu, walaupun hati Ayah tak bisa. Tapi Ayah lakukan itu untuk ngetes kamu bisa nggak dengan keadaan itu. Ternyata kamu nggak bisa dalam keadaan buta. Makanya Ayah nyari pendonor, namun karena nggak ada pendonor akhirnya Ayah yang mendonorkan mata Ayah untuk kamu. Ayah ngerasa kamu lebih membutuhkan, lagi pula Ayah sudah tua sementara masa depanmu masih panjang. Kamu harus tau bahwa seorang Ayah tidak akan menguji anaknya tanpa tujuan yang baik untuk anaknya, biasanya sosok Ayah lebih tau yang lebih baik untuk anaknya. Sekejam-kejamnya seorang Ayah pasti amat sangat mencintai anaknya. Cinta seorang pacar bahkan tidak bisa menandingi cinta orang tua yang selalu mengasihimu sedari belum ditiupkan nyawa di tubuhmu.
Tolong jaga Ayahmu yang buta ini ya? Bantu Ibu juga, karena Ibu menjadi tulang punggung keluarga karena Ayah sudah tidak bisa bekerja lagi. Ayah sayang kamu Lasih, jadi anak yang berbakti dan sukses ya..

Ttd,
Ayah



Post a Comment

0 Comments